Rabu, 04 Juni 2014

CERPEN



Dua Ratus Ribu

Malam ini aku menjalani seperti biasa, aku menapaki rentetan mobil. Dan menyanyikan lagu-lagu. Suaraku akhir-akhir ini jadi parau. Karena menyanyi yanpa minum itu sering terjadi. Uang recehan yang aku terima, sayang untuk membeli air minum. Sering juga perut lapar aku ganjal dengan roti setengah busuk.
Teringat akan ibu di gubuk usangku. Keadaannya sangat memprihatinkan, luka kudisnya membuat dia lemah, bau luka itu mengundang ribuan lalat. Terpaksa ibu terbarinng dengan menutup semua luka itu, hanya muka saja ang tampak.  Rasa kasihanku sungguh menyiksa batinku. Terkadang aku engutuk ayah yang meningalkan kami. Menderita karena terlantar dan hidup dengan kekurangan.
Suara rintik- rintik hujan membuat aku enggan untuk tidur. Ibu terus membujuk aku angar lekas tidur. Disaat itu usiaku masih 6 tahun. Belaian kasih sayang ibu membuat aku terpulas. Tapi ketika suara bentakan ayah membuat aku terjaga dari tidurku.
 “engkau selalu curiga kalau aku pulang malam!” hardik ayah.
“ bukan seperti itu hay, apa salalh aku bertanya? Ayah sering pulang tengah malam , ayah kemana saja?” sendu ibu.
“ akau banyak tugas di kantor, lembur!” Bentak ayah.
Aku tidak tahan melihat air mata ibu yang membasahi pipi ibu. Aku berlari mendekap ibu, sangat erat dan aku tak mengerti air mataku juga terjatuh. Keesokan harinya disaat ibu memakaikan seragam, kulihat mata sembabnya. Meski begitu dia tetap tersenyum dan membujuk aku sarapan pagi. Saat- saat itu aku meraskan kasih sayang ibu.semua keinginanku selalu dipenuhinya.
Sepulang sekolah aku menuggu ibu setengah jam, tak biasanya ibu terlambat menjemput aku. Berhubug perutku sudah lapar, aku menapaki jalan tanpa menuggu ibu lagi. Tap aku tak mengerti mengapa rumah keteui berantakan. Guci kesayangan iu pecah berantakan dilantai, foto keluarga kami yang dibngkai indah juga hancur. Aku takut dan lari mencari ibu ke kamarnya. Kutemui ibu menangis, memar diwajahnya. Ibu sibuk mengemas bajunya dan juga bajuku.
“ibu kenapa rumah kita!?Kenapa ibu menangis? Wajah ibu kok berdarah?” tanyaku heran karena tidak mengerti.
“ kita harus pergi dari sini” kata ibu
“ kenapa bu? Ayah bagaimana? Ayah ikut? Desakku.
Tanggisan ibu semakin menjadi-jadi dan tidak menjawab pertanyaanku. Ibu menenteng tas dan koper sambil menuntun tanganku. Kami pergi tergesa-gesa, aku heran, takut, aku terlalu kecil untuk memahai situassi itu. Kami menapaki jalan tak tahu arah, aku lirik iu juga was-was, binggung mau kemana. Akau tidak berani lagi untuk bertanya, takut kalau membuat ibu semakin sedih. Akhirnya kami menemukan gubuk usang dipinggir jalan setapak yang kami tepati sampai saat ini.
Ibu bercerita, dia memilih pisah dengan ayah di usiaku yang ke 12 tahun. Sore itu aku mendesak ibu untuk bercerita. Tapi setelah iu cerita aku jadi beci kepada ayah. Karena ayah ketahuan selingguh. Ayah sungguh kejam dan membiarkan ibu dan aku pergi dengan sakit hati. Dia malah memilih untuk menikah dengan perempuan lain. Rasa benci itu tak bisa aku lupakan. Aku mengutuki sosok ayah. Apalagi sekarang melihat keadaan ibuku yang tersiksa dengan penyakitnya.
Untuk membeli nasi pengisi perut, hari ini kunyanyikan lagu ibu yang dipopulerkan oleh iwan fals. Aku berdiri disamping mobil inova cat hitam. Kaca mobinya masih tertutup juga. Tak aku hiraukan itu, kulantunkan lagu tersebut dengan sepenuh hati. Kini pipiku basah karena terbayang olehku penderitaan ibu di gubuk kami. Tapi klakson-klakson mobil membuat aku sadar bahwa lampu hijau telah nyala, aku terbirit-birit mingggir. Kurogoh diujung gitarku kanrong rejeki. Berisi uang dua ratus ribu. Aku terperanjat kaget, heran dn binggung. Baru kali ini aku menerima uang sebesar itu. Apakah bapak yag didalam mobil itu yang memberi? Dengan lantunan lagu kuayunkan kaki pulang, tak lupa kebeli nasi bungkus, kesukaan ibu sayur asam. Aku ceritakan pada ibu atas rejeki haari ini, ibu juga bersukacita.
“ tappi bu aku penasaran pada orang itu , mungin uangnya berkelimpahan ya bu?” tanyaku.
“ ibu juga ngak tahu nak, kau doakan saja supaya rejekinya semakin bertambah, dan jagan lupa mengucap syukur pada Tuhan” nasihat ibu.
Ditengah kami menikmati makan siang itu, penuh dengan kebahagiaan. Karena hampir sudah dua tahun kami tidak makan seenak itu.
Disaat kai bersenda gurau mobil berhenti di depan gubukku. Kuihat ternyata mobil inova cat hitam. Aku jadi gelisah.
“ bu, jangan-jangan dia inging meminta uang itu kembali?” tanyaku.
“ siapa?” tanya ibu heran.
Belum sempat aku menjelaskan, laki- laki itu telah berdiri di depan kami. Parfumnya tercium olehku, pakaiannya rapi, sepatunya juga bermerek. Tapi sosoknya tak asing bagiku. Siapa dia?
“ maafkan aku lin, aku tidak tahu ternyata kalian ada disini” bisiknya.
Ibuku menangis tersendu-sendu  memeluk aku. Ternyata dia adalah ayahku sudah berbeda dari 15 tahun yang lalu.
“keluar kau! Pergi dari sisi! Kau kejam! Bentakku, kudorong ayah keluar. Namun ibu menghalangi aku.
“ nak engkau harus bisa memaafkannya, dia ayahmu nak” kata ibu.
Aku terduduk, menahan emosiku.
Ayah kini meminta maaf dan bersujud di depan ibu.
“ maafkan aku lin, aku khilaf, aku rela menebus dosa lin. Aku ingin kita  berkumpul kembali” pintanya. Kini kami menunggui iu yang dirawat dirumah sakit. SELESAI.

HATI  KERAS


Gelap yang menyiksa jarak pandangku

Dedaunan melambai tanpa arah buatku bergidik

Cahaya kunang-kunang mengingatkan aku akan mata setan

Suara-suara itu mengusik imanku

Semua itu tengah aku alami tanpa hadirmu

Meski kaki ini telah lelah

Namun tanpa asa hati terus mengebu
Menyebut namamu
Apa daya untuk menolak hati yang keras

Ingin dirimu

Aku tak tahu seberapa besar aku mencintaimu

Tak bisa kunyatakan seberapa takut kehilanganmu

Juga tak mampu kutafsirkan berapa persen kau mengagumimu

DIA LAH RANTING

Tak ada akar kuar darinya
Daun-daun  yang melekat kini gugur sendiri
Merasa enggan dan jijik sepiring dengannya
Kokoh tak ada padanya
Terombang-ambing angin
Derak mengerogoti tubuhnya
Air yang dulu jadi pengobat luka
Kini mengikis getah 
Hidup berpegang pada nasib tuanya
Buruk bainya tak ada kuasa
Tangannya tak mampu
Menggapai jemari
berpegang peluh atasnya