Dua
Ratus Ribu
Malam
ini aku menjalani seperti biasa, aku menapaki rentetan mobil. Dan menyanyikan
lagu-lagu. Suaraku akhir-akhir ini jadi parau. Karena menyanyi yanpa minum itu
sering terjadi. Uang recehan yang aku terima, sayang untuk membeli air minum.
Sering juga perut lapar aku ganjal dengan roti setengah busuk.
Teringat
akan ibu di gubuk usangku. Keadaannya sangat memprihatinkan, luka kudisnya
membuat dia lemah, bau luka itu mengundang ribuan lalat. Terpaksa ibu
terbarinng dengan menutup semua luka itu, hanya muka saja ang tampak. Rasa kasihanku sungguh menyiksa batinku.
Terkadang aku engutuk ayah yang meningalkan kami. Menderita karena terlantar
dan hidup dengan kekurangan.
Suara
rintik- rintik hujan membuat aku enggan untuk tidur. Ibu terus membujuk aku
angar lekas tidur. Disaat itu usiaku masih 6 tahun. Belaian kasih sayang ibu
membuat aku terpulas. Tapi ketika suara bentakan ayah membuat aku terjaga dari
tidurku.
“engkau selalu curiga kalau aku pulang malam!”
hardik ayah.
“
bukan seperti itu hay, apa salalh aku bertanya? Ayah sering pulang tengah malam
, ayah kemana saja?” sendu ibu.
“
akau banyak tugas di kantor, lembur!” Bentak ayah.
Aku
tidak tahan melihat air mata ibu yang membasahi pipi ibu. Aku berlari mendekap
ibu, sangat erat dan aku tak mengerti air mataku juga terjatuh. Keesokan
harinya disaat ibu memakaikan seragam, kulihat mata sembabnya. Meski begitu dia
tetap tersenyum dan membujuk aku sarapan pagi. Saat- saat itu aku meraskan
kasih sayang ibu.semua keinginanku selalu dipenuhinya.
Sepulang
sekolah aku menuggu ibu setengah jam, tak biasanya ibu terlambat menjemput aku.
Berhubug perutku sudah lapar, aku menapaki jalan tanpa menuggu ibu lagi. Tap
aku tak mengerti mengapa rumah keteui berantakan. Guci kesayangan iu pecah
berantakan dilantai, foto keluarga kami yang dibngkai indah juga hancur. Aku
takut dan lari mencari ibu ke kamarnya. Kutemui ibu menangis, memar diwajahnya.
Ibu sibuk mengemas bajunya dan juga bajuku.
“ibu
kenapa rumah kita!?Kenapa ibu menangis? Wajah ibu kok berdarah?” tanyaku heran
karena tidak mengerti.
“
kita harus pergi dari sini” kata ibu
“
kenapa bu? Ayah bagaimana? Ayah ikut? Desakku.
Tanggisan
ibu semakin menjadi-jadi dan tidak menjawab pertanyaanku. Ibu menenteng tas dan
koper sambil menuntun tanganku. Kami pergi tergesa-gesa, aku heran, takut, aku
terlalu kecil untuk memahai situassi itu. Kami menapaki jalan tak tahu arah,
aku lirik iu juga was-was, binggung mau kemana. Akau tidak berani lagi untuk
bertanya, takut kalau membuat ibu semakin sedih. Akhirnya kami menemukan gubuk usang
dipinggir jalan setapak yang kami tepati sampai saat ini.
Ibu
bercerita, dia memilih pisah dengan ayah di usiaku yang ke 12 tahun. Sore itu
aku mendesak ibu untuk bercerita. Tapi setelah iu cerita aku jadi beci kepada
ayah. Karena ayah ketahuan selingguh. Ayah sungguh kejam dan membiarkan ibu dan
aku pergi dengan sakit hati. Dia malah memilih untuk menikah dengan perempuan
lain. Rasa benci itu tak bisa aku lupakan. Aku mengutuki sosok ayah. Apalagi
sekarang melihat keadaan ibuku yang tersiksa dengan penyakitnya.
Untuk
membeli nasi pengisi perut, hari ini kunyanyikan lagu ibu yang dipopulerkan
oleh iwan fals. Aku berdiri disamping mobil inova cat hitam. Kaca mobinya masih
tertutup juga. Tak aku hiraukan itu, kulantunkan lagu tersebut dengan sepenuh
hati. Kini pipiku basah karena terbayang olehku penderitaan ibu di gubuk kami.
Tapi klakson-klakson mobil membuat aku sadar bahwa lampu hijau telah nyala, aku
terbirit-birit mingggir. Kurogoh diujung gitarku kanrong rejeki. Berisi uang
dua ratus ribu. Aku terperanjat kaget, heran dn binggung. Baru kali ini aku
menerima uang sebesar itu. Apakah bapak yag didalam mobil itu yang memberi?
Dengan lantunan lagu kuayunkan kaki pulang, tak lupa kebeli nasi bungkus, kesukaan
ibu sayur asam. Aku ceritakan pada ibu atas rejeki haari ini, ibu juga
bersukacita.
“
tappi bu aku penasaran pada orang itu , mungin uangnya berkelimpahan ya bu?”
tanyaku.
“
ibu juga ngak tahu nak, kau doakan saja supaya rejekinya semakin bertambah, dan
jagan lupa mengucap syukur pada Tuhan” nasihat ibu.
Ditengah
kami menikmati makan siang itu, penuh dengan kebahagiaan. Karena hampir sudah
dua tahun kami tidak makan seenak itu.
Disaat
kai bersenda gurau mobil berhenti di depan gubukku. Kuihat ternyata mobil inova
cat hitam. Aku jadi gelisah.
“
bu, jangan-jangan dia inging meminta uang itu kembali?” tanyaku.
“
siapa?” tanya ibu heran.
Belum
sempat aku menjelaskan, laki- laki itu telah berdiri di depan kami. Parfumnya
tercium olehku, pakaiannya rapi, sepatunya juga bermerek. Tapi sosoknya tak
asing bagiku. Siapa dia?
“
maafkan aku lin, aku tidak tahu ternyata kalian ada disini” bisiknya.
Ibuku
menangis tersendu-sendu memeluk aku.
Ternyata dia adalah ayahku sudah berbeda dari 15 tahun yang lalu.
“keluar
kau! Pergi dari sisi! Kau kejam! Bentakku, kudorong ayah keluar. Namun ibu
menghalangi aku.
“
nak engkau harus bisa memaafkannya, dia ayahmu nak” kata ibu.
Aku
terduduk, menahan emosiku.
Ayah
kini meminta maaf dan bersujud di depan ibu.
“
maafkan aku lin, aku khilaf, aku rela menebus dosa lin. Aku ingin kita berkumpul kembali” pintanya. Kini kami
menunggui iu yang dirawat dirumah sakit. SELESAI.